Jumat, 11 Juli 2014

Semakin banyak orang Korea menemukan iman di tengah kesulitan



Iman Kristen bisa dipicu oleh banyak hal. Ini bisa terjadi akibat pengalaman traumatis atau yang mencerahkan, atau keinginan untuk mengatasi situasi sulit termasuk stres.

Jalan keluar dari kesulitan yang dilakukan warga Korea Selatan adalah pentingnya memiliki iman maka tidak heran pertumbuhan jumlah umat Kristiani di negara itu sangat signifikan – Protestan dan Katolik – sejak Perang Dunia II.

Pertumbuhan jumlah Kristen Protestan terbukti selama beberapa dekade dari tahun 1950.  Pada periode yang sama di Korea, jumlah umat Katolik bertumbuh secara perlahan dari 170.000  tahun 1961 menjadi 450.000 tahun  1968.  Tetapi dalam tiga dekade terakhir, jumlah umat Katolik telah berkembang pesat – dari 800.000 tahun 1980 menjadi lebih dari lima juta saat ini.

Beberapa ilmuwan sosial telah mengaitkan pertumbuhan tajam tersebut akibat konversi dari sejumlah besar  wanita paruh baya yang anak-anak mereka telah tumbuh dewasa dan harus mengejar karir. Mereka kemudian melakukan permenungan dan menemukan koneksi dengan komunitas Gereja dan memilihnya sebagai tujuan hidup  mereka.

Di kalangan orang muda Korea, kehidupan yang stres dalam sebuah masyarakat urban yang banyak persaingan, maju secara teknologi, iman tampaknya menjadi pendorong yang kuat.

Rena (nama asal  Korea-nya: You Jung-sing) berusia 22 tahun dan dibaptis empat tahun lalu setelah mengalami stres akut yang ia alami dalam mempersiapkan ujian di sekolah menengah.

Ujian di sekolah menengah adalah salah satu sumber utama stres bagi orang muda Korea. Mempersiapkan ujian mungkin adalah saat yang paling penting bagi remaja.

Hampir 75 persen siswa mengikuti les privat dalam persiapan untuk ujian. Tak seorang pun ingin tertinggal dan berlomba untuk mendapatkan nilai yang baik agar bisa masuk universitas.

“Saya dibaptis pada malam Paskah,” katanya. ”Saya dididikan di sebuah sekolah Katolik sebelum masuk Jesuit University of Sogang.”

“Saya dibaptis ketika saya mengalami stres berat akibat belajar KSAT (Korea Scholastic Aptitude Test). Aku sakit pada saat itu karena terlalu banyak waktu yang dihabiskan membaca buku-buku,” katanya.

Bagi Rena, masalah tersebut mulai ketika ibunya yang memberikan tekanan luar biasa saat ujian akhir,  yang menjadi sebuah fenomena di Korea.

Seorang guru bahasa Inggris di Seoul baru-baru ini menanyakan murid-muridnya, semua berusia 16 tahun, ‘siapa yang paling menakutkan mereka. Sejauh ini jawaban yang paling umum adalah, ‘ibuku! “Orangtua di Korea memiliki harapan tinggi prestasi akademis anak-anak mereka.

Hasil baik yang diharapkan bukan hanya memberikan kebanggaan keluarga, tapi juga gengsi dengan teman-teman dan tetangga. Ada juga harapan bahwa dengan mendapatkan nilai yang baik, anak-anak akan menemukan pekerjaan yang baik yang menyediakan dukungan keuangan bagi orangtua di usia tua mereka. Hingga hari ini, cara itu adalah lazim bahwa gaji pertama anak-anak akan diserahkan langsung kepada orangtua sebagai tanda terima kasih.

Di Korea, kata Rena, “jika Anda tidak melakukannya dengan baik saat tes, Anda tidak bisa masuk perguruan tinggi terkemuka, Anda tidak akan mendapatkan pekerjaan yang baik, dan mungkin tidak mau dinikahi karena status sosial Anda yang rendah”.

Rena mengatakan dia selalu memiliki opini yang baik tentang Katolik. “Ibuku sudah masuk Katolik, ia dibaptis lima tahun lalu. Tapi, ayahku adalah seorang ateis. Ia adalah seorang peneliti di universitas. Saya secara pribadi memiliki kesan yang baik tentang umat Katolik, terutama aku pernah mendengar cerita tentang Paus Yohanes Paulus II, yang datang ke Korea dua kali.”

Pertumbuhan jumlah umat Protestan di Korea terjadi setelah Perang Korea ketika Gereja terlibat dalam menangani masyarakat yang dilanda perang selama beberapa dekade. Kristen Protestan memulihkan trauma psikologis, spiritual dan material yang diderita selama puluhan tahun konflik dan penjajahan.

Sementara itu Gereja Katolik berperan kuat dalam menentang Jepang dan dua diktator Korea dari awal tahun 1960-an sampai akhir 1980-an, dan jumlah umat Katolik mengalami pertumbuhan tajam setelah dua kunjungan Paus Yohanes Paulus II tahun 1980.

“Saya belum lahir, tapi saya telah mendengar banyak cerita tentang Paus Yohanes Paulus II,” kata Rena.

“Saya melihat gambar di TV. Aku pernah membaca sebuah artikel dimana mereka berbicara tentang permintaan maaf resmi kepada setiap kelompok yang telah menderita atas kesalahan yang dilakukan oleh Gereja di masa lalu, seperti Yahudi, Muslim … ini yang membuat saya sangat terkesan. Saya berpikir bahwa ini benar-benar gerakan luar biasa untuk membangun rekonsiliasi agama.”

“Ada teman-teman saya yang beragama Katolik menghabiskan waktu mereka menjadi relawan, yang tidak lazim untuk anak laki-laki seusia saya. Bahkan aku mendapat inspirasi dari mereka untuk mengikuti jalan iman yang sama.”

“Sekarang seperti mereka, saya juga menjadi relawan mengajar anak-anak miskin,” tambah Rena.

Sumber: UCA News

Tidak ada komentar:

Posting Komentar