Senin, 17 November 2014

SAKRAMEN EKARISTI




Perayaan Ekaristi diimani sebagai “sumber dan puncak” kehidupan Kristiani. Di dalamnya terdapat tindakan pengudusan yang paling istimewa oleh Allah kepada umat beriman, karena terdapat kehadiran dan pengorbanan Yesus Kristus dalam rupa Tubuh dan Darah-Nya atau Sakramen Ekaristi. Ekaristi juga menjadi tindakan penyembahan yang paling istimewa oleh umat beriman kepada Allah. Ekaristi juga menjadi representasi umat beriman terhubung dengan liturgi di surga. Betapa pentingnya sakramen ini sehingga partisipasi dalam perayaan Ekaristi (Misa) dipandang sebagai kewajiban pada setiap hari Minggu dan hari raya khusus, serta dianjurkan untuk hari-hari lainnya.
Sakramen Ekaristi berasal dari Yesus sendiri. Dalam Perjamuan Terakhir bersama para murid, Yesus mengucap syukur dan memberikan pesan-Nya:
Inilah Tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu, perbuatlah ini menjadi kenangan akan Aku. Ia juga berkata: Cawan ini adalah perjanjian baru oleh darah-Ku yang ditumpahkan bagimu. Ia juga memberikan perintah untuk melakukan hal itu sebagai kenangan akan diri-Nya: Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Daku.
Perjamuan Tuhan diteruskan oleh Gereja dalam perjamuan Ekaristi. Perjamuan Ekaristi adalah peringatan syukur untuk mengenangkan dan sekaligus menghadirkan kembali Yesus yang mempersembahkan diri-Nya dalam kematian di salib demi keselamatan manusia, sesuai dengan perintah Yesus.
Melalui Ekaristi, kita mengambil bagian dari Tubuh dan Darah Yesus Kristus (Komuni Suci) serta turut serta dalam pengorbanan diri-Nya. Roti dan anggur ditransformasi menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Perubahan ini disebut transubstansiasi. Hanya uskup atau imam yang dapat menjadi pelayan Sakramen Ekaristi, dengan bertindak selaku pribadi Kristus sendiri.
Skema besar Perayaan Ekaristi terdiri dari:
  1. Ritus Pembukaan
  2. Liturgi Sabda
  3. Liturgi Ekaristi
  4. Ritus Penutup
Materi dan Forma Sakramen Ekaristi:
Materi: Roti dan Anggur Forma: “Inilah Tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu, perbuatlah ini menjadi kenangan akan Aku”. “Cawan ini adalah perjanjian baru oleh darah-Ku, yang ditumpahkan bagimu. Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Daku”.

Menghayati Sakramen Mahakudus

Dari ajaran Konsili Vatikan II jelaslah bahwa penghayatan Ekaristi tidak sama dengan menyambut komuni atau menghormati Yesus dalam tabernakel. Yang pokok adalah mengambil bagian dalam perayaan. Komuni berarti ikut serta secara sakramental (artinya melalui “tanda dan sarana”) dengan Doa Syukur Agung, yang mengungkapkan iman Gereja akan wafat dan kebangkitan Kristus. Maka dari umat pertama-tama diharapkan sikap iman yang sama.
Penghayatan Ekaristi dan sakramen pada umumnya, terutama merupakan suatu pengalaman iman. Dalam iman orang dipersatukan dengan Kristus, dan dengan sesama. Ekaristi berarti suatu pertemuan pribadi – dalam iman – dengan Kristus. St. Paulus menulis, “Bukankah piala ucapan syukur, yang di atasnya kita ucapkan syukur, berarti persekutuan dengan darah Kristus? Bukankah roti yang kita pecah-pecahkan berarti persekutuan dengan tubuh Kristus?” (1Kor 10:16). Ekaristi berarti “persekutuan dengan Kristus”. Dan memang, kita “dipanggil kepada persekutuan dengan Anak Allah, Yesus Kristus Tuhan kita” (1Kor 1:9). Hal itu berarti pertama-tama “persekutuan Roh Kudus” (2Kor 13:13), sebab kesatuan dengan Kristus berarti “persekutuan iman” (Flm 6). Persekutuan iman berarti persekutuan jemaat, sebab semua bersama-sama menghayati iman Gereja. Sakramen itu “sakramen iman”, dan Ekaristi sebagai pusat dan puncak semua sakramen merupakan perayaan iman bersama. Pusatnya bukanlah roti dan anggur, melainkan Kristus yang – karena iman – hadir dalam seluruh umat.
Dari pihak lain, tradisi Gereja juga tidak mau membatasi kebaktian kepada sakramen mahakudus pada perayaan liturgis saja. Ada perarakan, pentakhtaan sakramen mahakudus, kunjungan di muka tabernakel, pujian dan berkat meriah.
“Komuni orang sakit” tidak termasuk devosi-devosi, sebab dengan jalan menyambut komuni orang sakit, yang terhalang mengikuti perayaan, toh diberi kesempatan ikut serta dalam perayaan itu. Maka perlu diperhatikan bahwa komuni orang sakit tidak dapat dilepaskan dari perayaan Ekaristi sendiri.
“Komuni di stasi” serupa dengan itu, sebab di situ pun ada orang yang terhalang mengambil bagian dalam perayaan bersama di gereja pusat. Oleh karenanya, perlu diingat bahwa sesungguhnya orang itu mengambil bagian dalam perayaan, di mana hosti-hosti itu dikonsekrasi. Khususnya untuk komuni di dalam gereja biasa, perlu diingat ketetapan Pedoman Umum Buku Misa (no. 56h), “agar umat menyambut Tubuh Tuhan dari hosti-hosti yang diberkati dalam misa yang sedang dirayakan itu”. Kalau pada hari Minggu diberkati hosti-hosti untuk seluruh minggu, itu kurang menghormati sakramen mahakudus.
Apa yang dikatakan oleh Konsili Vatikan II mengenai devosi-devosi pada umumnya, berlaku terutama untuk devosi-devosi ekaristis: “ulah kesalehan itu perlu diatur sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan liturgi suci, sedikit banyak bersumber padanya dan menghantar umat kepada liturgi; sebab menurut hakikatnya liturgi memang jauh lebih unggul dari semua ulah kesalehan itu” (SC 13). Kalau demikian, mengapa “hidup rohani tidak tercakup seluruhnya dengan hanya ikut serta dalam liturgi” (SC 12)? Karena liturgi menurut hakikatnya berupa perayaan bersama. Bisa terjadi penghayatanpribadi tidak mendapat perhatian secukupnya. Padahal, Ekaristi (dan liturgi pada umumnya) tidak mungkin menjadi pengungkapan iman tanpa penghayatan iman secara pribadi. Oleh sebab itu devosi-devosi dimaksudkan untuk menunjang dan memperkuat semangat iman, demi perayaan bersama yang resmi dan gerejawi.

Ajaran Gereja mengenai Ekaristi

Konsili Vatikan II tidak memberikan banyak penjelasan atau ajaran mengenai Ekaristi. Ajaran resmi Gereja mengenai Ekaristi berasal dari Konsili Trente (1545-1563), yang tidak lengkap, karena Konsili Trente menanggapi ajaran Reformasi (Protestan) yang dianggap kurang sesuai. Konsili Trente hanya berbicara mengenai dua hal saja, yakni kehadiran Kristus dalam Ekaristi, khususnya dalam rupa roti dan anggur, dan mengenai Ekaristi sebagai kurban.
Ajaran Trente mengenai kehadiran Kristus dalam Ekaristi berbunyi: “Dalam sakramen Ekaristi yang mahakudus ada secara sungguh, riil dan substansial, tubuh dan darah Tuhan kita Yesus Kristus, bersama dengan jiwa dan keallahan-Nya, jadi seluruh Kristus”. Tidak “tinggal substansi roti-dan-anggur bersama dengan tubuh dan darah Tuhan kita Yesus Kristus”, sebab tubuh dan darah Kristus hadir karena “perubahan seluruh substansi roti menjadi tubuh dan seluruh substansi anggur menjadi darah, sedang yang tinggal hanyalah rupa roti dan anggur, ialah perubahan yang oleh Gereja Katolik dengan tepat disebuttrans-substansiatio” (DS 1651-2).
Ajarannya mengenai kurban: “Dalam Misa dipersembahkan kepada Allah kurban sungguh-sungguh dalam arti yang sebenarnya”. Maka kurban itu bukan “hanya kurban pujian dan syukur, atau semata-mata pengenangan saja akan kurban salib”, tetapi “kurban pelunas sendiri” (DS 1751; 1753).
Konsili Vatikan II sedikit banyak melengkapi keterbatasan rumusan Trente ini:
Dalam perjamuan terakhir, pada malam Ia diserahkan, Penyelamat kita mengadakan kurban ekaristis tubuh dan darah-Nya, untuk melangsungkan kurban salib selama peredaran abad sampai Ia datang kembali. Dengan demikian Ia mempercayakan kepada Gereja, mempelai-Nya yang tercinta, pengenangan akan wafat dan kebangkitan-Nya; sakramen kasih sayang, tanda kesatuan, ikatan cinta-kasih, perjamuan Paska, di mana Kristus disantap, jiwa dipenuhi rahmat, dan diberikan jaminan kemuliaan kelak (SC 47).
Ajaran ini, khususnya mengenai kurban, diulangi lagi dalam LG 28 (lih. juga LG 3; SC 2). Tetapi untuk menghindari salah paham mengenai hubungan antara kurban salib dan kurban Ekaristi diberikan penjelasan ini: “Kurban Misa menghadirkan serta menerapkan satu-satunya kurban Perjanjian Baru, yakni kurban Kristus, yang mempersembahkan diri satu kali sebagai kurban tak bernoda kepada Bapa (lih. Ibr 9:11-28)”. Memang dinyatakan bahwa ada kurban, tetapi kurban itu satu dan sama dengan kurban salib.
Tindakan pengenangan menjelaskan hal itu. “Setiap kali perjamuan Tuhan disantap, wafat Tuhan diwartakan” (SC 6; lih. PO 4). Itulah disebut “merayakan misteri Paska” (lih. CD 15). Pewartaan sakramental itu tidak hanya memaklumkan misteri Paska, tetapi juga menghayatinya. Inilah kekhususan Ekaristi sebagai sakramen, “Melalui sabda yang diwartakan dan perayaan sakramen, yang pusat dan puncaknya adalah Ekaristi mahakudus, Gereja membuat Kristus, sumber keselamatan, menjadi hadir” (AG 9). Sabda yang diwartakan adalah ungkapan iman dalam rangka komunikasi iman. Sabda mempersatukan orang dengan Kristus dan membuat Kristus, lebih khususkurban Kristus, menjadi nyata kembali.
Oleh karena itu Konsili Vatikan II juga mempunyai pengertian yang lebih luas mengenai kehadiran Kristus. Hal itu dengan jelas dirumuskan dalam Konstitusi mengenai Liturgi: “Kristus hadir dalam kurban misa, baik dalam pribadi pelayan, maupun terutama dalam rupa Ekaristi (roti dan anggur). Ia hadir oleh kekuatan-Nya, Ia hadir dalam sabda-Nya. Akhirnya Ia hadir bila Gereja bermohon dan bermazmur” (SC 7). Kehadiran Kristus tidak terbatas pada roti dan anggur saja. Bahkan kehadiran-Nya dalam rupa Ekaristi itu tidak disebut yang paling pertama. Kristus hadir dalam Gereja, dalam perayaan Gereja dan dalam semua peserta perayaan itu. Akhirnya, Ia hadir pula dalam apa yang boleh disebut “alat penghubung” dalam perayaan itu, yakni roti dan anggur. Perlu dicatat pula bahwa roti dan anggur “diubah menjadi tubuh dan darah mulia” (GS 38).
Kristus hadir dalam rupa roti dan anggur bukan dalam keadaan seperti dahulu di Palestina. Ia hadir dalam kemuliaan surgawi-Nya. Maka Kristus “sesudah Ia bangkit dari antara orang mati, tidak mati lagi: maut tidak berkuasa lagi atas Dia” (Rm 6:9). Kehadiran Kristus berarti kehadiran misteri Paska, yaitu “misteri Kristus, yang selalu hadir dan berkarya di tengah kita, tetapi teristimewa dalam perayaan liturgi” (SC 35). Oleh karena itu komuni juga mempunyai arti yang lebih luas daripada hanya menyambut tubuh dan darah Kristus. “Komuni” berasal dari kata Latin communio yang berarti “kesatuan”. Bukan hanya kesatuan dengan Kristus dalam rupa roti dan anggur, melainkan juga kesatuan dengan jemaat. Bahkan “komuni” pertama-tama berarti kesatuan dengan perayaan, yang pusatnya adalah Doa Syukur Agung. Dalam hal ini tetap dipertahankan kerangka perjamuan Yahudi, yakni para hadirin mengambil bagian dalam doa yang dibawakan oleh pemimpin dengan cara makan roti dan minum dari piala. Dalam Ekaristi kesatuan dengan doa itu berarti kesatuan dengan Kristus, yang dijumpai melalui iman Gereja yang terungkap dalam Doa Syukur Agung.
Dengan demikian, perayaan Ekaristi merupakan pengungkapan iman Gereja, bukan pengungkapan iman satu orang saja. Mengambil bagian dalam perayaan sama dengan partisipasi dalam jemaat. Komuni juga mempunyai arti eklesialatau gerejawi, dan justru segi itulah yang amat ditekankan oleh Konsili Vatikan II. Ekaristi “melambangkan serta memperbuahkan kesatuan Gereja” (UR 2); “dilambangkan dan dilaksanakan kesatuan umat beriman” (LG 3). Oleh karena itu Konsili juga amat mementingkan partisipasi aktif umat dalam perayaan itu sendiri: “Orang beriman harus yakin bahwa penampilan Gereja terutama terletak dalam peran-serta penuh dan aktif seluruh umat” (SC 41; lih juga 30 dan 48).

Bagian Ekaristi yang Lain


20130603144701861_0001Pokok perayaan Ekaristi adalah Doa Syukur Agung dan komuni, sebagai partisipasi pada doa yang dibawakan oleh imam. Di samping itu berkembanglah banyak doa dan upacara yang lain, yang mendukung dan memeriahkan perayaan. Yang pertama adalah liturgi sabda, yang juga diambil alih dari ibadat Yahudi. Doa Syukur dan komuni berasal dari kebaktian di rumah, khususnya dari doa sebelum dan sesudah makan, sedangkan liturgi sabda berasal dari kebaktian di sinagoga atau pertemuan jemaat lokal. Dalam perayaan Ekaristi kedua hal itu tidak hanya menjadi satu, tetapi biasanya juga tidak lagi dirayakan dalam keluarga, melainkan dalam ibadat bersama.
Mulai abad ke-4 diadakan doa umat antara liturgi sabda dan Doa Syukur Agung. Tidak lama kemudian Doa Syukur Agung, yang sampai waktu itu selalu dibawakan dengan bebas, mulai diseragamkan. “Tuhan, kasihanilah kami” dan “Bapa kami” masuk pada zaman Paus Gregorius Agung (540-604), yang juga menambahkan banyak nyanyian. Seratus tahun kemudian dimasukkan “Anak Domba Allah” (yang sebetulnya sangat mirip dengan “Tuhan, kasihanilah kami”). Doa-doa pada persembahan dan komuni, dan kebanyakan doa kecil yang lain, baru ada sejak tahun 900, dan baru pada tahun 1570 ada buku “missale“, yang empat ratus tahun kemudian (1970) diganti dengan bukumisa yang dipakai sekarang. Secara liturgis semua itu bersama merupakan perayaan Ekaristi. Di dalamnya dapat dibedakan apa yang dalam arti sesungguhnya merupakan sakramen, yaitu Doa Syukur Agung dan komuni, dan doa-doa serta upacara lain yang mendukung yang pokok itu.
Sejak Konsili Vatikan II “upacara-upacara disederhanakan, dengan tetap mempertahankan yang pokok. Dihilangkan semua pengulangan dan tambahan yang kurang berguna, yang muncul dalam perjalanan sejarah. Dengan demikian umat beriman lebih mudah ikut-serta dengan khidmat dan aktif’ (SC 50).
Pada masa lampau sering kali “persembahan” juga dilihat sebagai unsur pokok Ekaristi. Tetapi “persembahan” sebetulnya merupakan persiapan roti dan anggur. Dalam Gereja kuno persembahan itu tidak merupakan upacara khusus, melainkan dilakukan oleh koster atau seorang diakon. Baru di kemudian hari persiapan ini dibuat menjadi acara tersendiri, sering kali dengan sebuah arak-arakan. Karena menjadi upacara sendiri, lalu mendapat arti sendiri. Persembahan dilihat sebagai kurban umat, yang kemudian diubah menjadi kurban Kristus. Kristus tidak dikurbankan lagi dan umat hanya ikut serta dengan kurban Kristus, yang dikenangkan secara sakramental dan secara sakramental pula dipartisipasi oleh umat.
Alhasil, perayaan Ekaristi sekarang terdiri dari dua bagian pokok:liturgi sabda dan liturgi ekaristi. Yang utama tentu liturgi ekaristi, yakni Doa syukur Agung dan komuni. Dalam Doa Syukur Agung dimuliakan karya keselamatan Tuhan, sedangkan dalam liturgi sabda disadari kembali karya agung Allah yang kemudian akan disyukuri.
Liturgi sabda didahului dengan “pembukaan” untuk mempersiapkan hati bagi perayaan Ekaristi. Tekanan ada pada kesadaran diri sebagai orang berdosa yang lemah (terungkap dalam “pernyataan tobat” dan “Tuhan kasihanilah kami”). Sementara itu, sikap puji-syukur juga sudah dipersiapkan (“Kemuliaan”).
Walaupun Doa Syukur Agung dan komuni sebetulnya merupakan satu kesatuan, namun banyak doa sekitarnya menyebabkan komuni tampak seolah-olah suatu upacara yang berdiri sendiri. “Bapa Kami” dan “Salam Damai” menegaskan bahwa komuni berarti persekutuan (communio) antarumat. “Anak Domba Allah”, yang menegaskan lagi kelemahan dan kerapuhan orang, memusatkan perhatian pada komuni sebagai kesatuan dengan Tuhan. Doa-doa penutup dengan berkat mengantar orang kembali kepada hidup sehari-hari.

Epiklese

Menyerahkan diri secara efektif kepada Allah mengatasi kemampuan dan kemungkinan seorang manusia, dan hanya mungkin dalam Roh Kudus (lih Rm 8:14.27; 1Kor 2:11; Gal 4:6; Ef 6:18). Maka juga Doa Syukur Agung Gereja tidak mungkin tanpa pertolongan Roh Kudus. Oleh karena itu, di samping anamnese selalu ada suatu epiklese dalam doa ekaristi. Yang dimaksudkan dengan “epiklese” ialah doa permohonan supaya Roh Kudus turun. Dalam kebanyakan Doa Syukur Agung ada dua epiklese, satu supaya roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus (epiklese konsekrasi), dankedua supaya mereka yang menerima tubuh dan darah Kristus, dipersatukan menjadi Tubuh Kristus yang mistik (epiklese komuni). Jadi permohonan supaya roti dan anggur benar-benar menjadi “tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah”, dan permohonan kedua supaya oleh perayaan ini umat juga dipersatukan sendiri satu sama lain. Dengan demikian epiklese menjadi doa permohonan yang paling pokok dan sekaligus awal segala permohonan yang lain. “Anamnese” termasuk puji-syukur, “epiklese” adalah pokok dan awal permohonan. Dari satu pihak diikuti adat kebiasaan orang Yahudi, dari pihak lain sekarang pengenangan dipusatkan pada wafat dan kebangkitan Kristus, dan permohonan ditujukan terutama pada rahmat Roh Kudus.

Anamnese

Dasar kepercayaan akan kebaikan Tuhan bukanlah khayalan atau teori, melainkan karya agung Tuhan sendiri, yang telah memperlihatkan keagungan dan belaskasihan-Nya. Maka puji-syukur selalu disertai dengan “pengenangan” atauanamnese. Anamnese tidak sama dengan peringatan akan peristiwa yang lampau. Sebaliknya dengan mengenangkan yang lampau, orang mampu menghayati kebaikan Tuhan sekarang (dan berani mengajukan permohonannya juga). Dengan mengenangkan kebaikan Tuhan, orang menempatkan diri dalam arus rahmat, yang tidak pernah berhenti. Kebaikan dan keagungan Tuhan sekarang sama dengan kebaikan dan keagungan yang dahulu pernah dinyatakan-Nya. Padahal bagi orang beriman Kristen, kasih-karunia Allah yang menyelamatkan semua manusia menjadi nyata dalam Yesus Kristus (lih. Ef 2:7; Tit 2:11).
Maka pusat pengenangan Doa Syukur Agung adalah Yesus sendiri, khususnya wafat dan kebangkitan-Nya. Ini tidak hanya sesuai dengan perintah pengenangan, tetapi dengan iman Kristen sendiri. Puji-syukur Kristiani menyangkut “kuat-kuasa Allah, yang dikerjakan-Nya dalam Kristus dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati” (Ef 1:20). Dengan mengenangkan penyerahan Kristus kepada Bapa-Nya, orang Kristen ikut menghayati dan mengalami penyerahan itu sendiri, dalam kesatuan dengan Kristus, sebab penyerahan Kristus, yang “dilakukan-Nya satu kali untuk selama-lamanya” (Ibr 7:27), tidak pernah terhapus lagi. Oleh kebangkitan-Nya penyerahan-Nya kepada Bapa diabadikan, sehingga Yohanes melihat-Nya di surga sebagai “Anak Domba yang telah disembelih” (Why 5:6; 13:8). Penyerahan Kristus itu abadi dan mengenangkannya dalam rangka puji-syukur berarti mempersatukan diri dengan kurban Kristus itu.

Doa Syukur Agung

Serupa dengan “induknya”, yakni birkat ha-mazon Doa Syukur Agung terdiri dari dua bagian: Puji-syukur dan permohonan. Yang pokok adalah puji-syukur, yang dalam bahasa Yunani disebut eukharisti. Maka jelaslah bahwa inti perayaan Ekaristi adalah puji-syukur itu atau “eukharistia”. Syukur itu tidak sama dengan “terima kasih”. Di dalamnya terungkap kepercayaan pada Allah dan pemujaan terhadap-Nya, seperti yang terjadi dalam mazmur-mazmur (lih. Mzm 18; 30; 50; 71; 92; 99; dsb.). Puji-syukur itu pengungkapan iman yang paling penuh: “Aku mengucap syukur kepada-Mu karena kemuliaan-Mu yang besar” (Kemuliaan). Puji-syukur terarah kepada Tuhan sendiri, dalam kemuliaan dan kebaikan-Nya. Oleh karena itu puji syukur ini disusul dengan permohonan, tanda kepercayaan akan kebaikan Tuhan. Orang merasa gembira dan bahagia karena ada Tuhan yang begitu baik dan begitu berkuasa. Puji-syukur bersama dengan permohonan, merupakan ungkapan kepercayaan yang tak mengenal batas.

Liturgi Ekaristi Gereja


 Dari Kisah para Rasul (2:42.46; 20:7.11) diketahui bahwa jemaat perdana dengan rajin merayakan Perjamuan Tuhan. Dari kesaksian Paulus (1Kor 11:17-34) dapat ditarik kesimpulan, bahwa mereka merayakannya serupa dengan Perjamuan Terakhir, artinya menurut adat-kebiasaan orang Yahudi. Hal itu tidak mengherankan, karena murid-murid yang pertama kebanyakan berasal dari kalangan Yahudi. Namun dari berita Paulus mungkin kelihatan bahwa perayaan bersama dengan orang lain (yang belum Kristiani) dapat menimbulkan kesulitan.
Bagaimanapun juga, sekitar tahun 200 (barangkali sudah sebelumnya), dalam kerangka perayaan Ekaristi sudah tidak lagi diadakan perjamuan sungguh (artinya, makan besar). Semua terbatas pada doa saja, yakni doa sebelum dan doa sesudah makan. Karena sudah tidak ada makan lagi, maka kedua doa itu tentu menjadi satu. Doa pendek sebelum makan diintegrasikan dalam doa yang disebut birkat ha-mazon menjadi Doa Syukur Agung seperti yang dikenal sampai sekarang.

Perjamuan Terakhir

Kisah perjamuan terakhir, yang terdapat dalam injil sinoptik (Mat 26:26-29; Mrk 14:22-25; Luk 22:15-20) dan pada Paulus (1Kor 11:23-25), sebenarnya amat singkat dan tidak persis sama. Walaupun pada dasarnya sama, ada perbedaan perumusan antara Matius-Markus pada satu pihak dan Lukas-Paulus pada pihak yang lain. Sudah tidak diketahui lagi apa yang sesungguhnya dikatakan dan dilakukan oleh Yesus. Kata-kata yang sekarang dipakai dalam Doa Syukur Agung merupakan rumusan yang dibuat atas dasar empat kisah itu, tetapi tidak terjamin keasliannya. Namun demikian, semua kisah mempunyai sepuluh unsur ini: >
  1. Yesus mengambil roti.
  2. Yesus mengucap doa syukur.
  3. Yesus memecahkan roti dan memberikannya kepada para murid.
  4. Waktu membagikan roti itu Yesus bersabda: Inilah tubuh-Ku.
  5. Sesudah perjamuan Yesus mengambil piala.
  6. Yesus mengucap syukur lagi.
  7. Piala diberikan kepada para rasul, dan mereka minum dari padanya.
  8. Waktu mengedarkan piala, Yesus bersabda: Piala ini adalah Perjanjian Baru dalam darah-Ku.
  9. Yesus memberi perintah pengenangan.
  10. Sesudah itu Yesus masih berbicara mengenai Kerajaan Allah.
Betapapun terbatas informasi yang dapat diperoleh dari kisah-kisah ini, jelas bahwa semua ini sesuai dengan perjamuan Yahudi. Doa syukur yang disebut sebelum makan (no. 2) dan sesudahnya (no. 6) adalah doa sebelum dan sesudah makan yang dibawakan oleh pemimpin perjamuan, biasanya bapa keluarga. Para peserta perjamuan menjawab “amin”, lalu makan roti yang dibagikan sebelum perjamuan (no. 3) dan minum dari piala sesudahnya (no. 7). Perlu diperhatikan bahwa pembagian roti terjadi sebelum makan, dan oleh karena itu tidak termasuk perjamuan sendiri. Makan roti dan minum dari piala termasuk doa. Dengan menjawab “amin” dan kemudian makan roti serta minum dari piala, orang mengambil bagian dalam doa yang oleh pemimpin diucapkan atas roti dan anggur.
Doa sebelum makan biasanya pendek, sedangkan doa sesudah makan, yang disebut birkat ha-mazon, cukup panjang dan dapat bervariasi menurut pesta yang dirayakan. Doa itu dirumuskan dengan bebas oleh yang membawakannya. Kita tidak tahu bagaimana doa syukur Yesus; barangkali serupa dengan doa yang biasanya didoakan oleh orang Yahudi, sebab semua memang sesuai dengan adat-istiadat orang Yahudi (termasuk perjamuan sendiri, yang dalam Perjanjian Baru hanya disebut sepintas, no. 5). Yang sangat istimewa ialah sabda Yesus yang diucapkan waktu membagikan roti (no. 4) dan piala (no. 8), sebab biasanya roti dan anggur dibagikan dengan diam-diam, sebagai bagian doa. Sabda Yesus itu tidak tepat sama rumusannya dalam keempat kisah.
Pada kata “Inilah tubuh-Ku” oleh Lukas ditambahkan “yang diserahkan untuk kamu”, sedangkan Paulus menyebutkan: “Tubuh-Ku, yang untukmu”. Kiranya perbedaan ini tidak sepenting seperti dalam sabda atas piala. Kata “Piala ini adalah Perjanjian Baru dalam darah-Ku”, hanya terdapat pada Paulus dan Lukas (yang terakhir itu masih menambahkan: “yang ditumpahkan untuk kamu”). Tetapi teks Markus berbunyi (dan Matius tidak banyak berbeda): “Inilah darah-Ku Parjanjian, yang ditumpahkan untuk orang banyak” (Matius masih menambahkan: “demi pengampunan dosa”). Banyak ahli lebih cenderung ke arah teks Lukas-Paulus, karena dua alasan: 1. Teks Markus atas piala sangat mirip dengan sabda atas roti, mungkin disesuaikan; 2. rumus Markus sangat aneh: “darah-Ku perjanjian”, yang mungkin dirumuskan dengan latar belakang Kel 24:8: “Inilah darah perjanjian yang diadakan Tuhan dengan kamu”. Bagaimanapun juga, dari naskah Injil tidak dapat ditentukan dengan pasti, mana sabda Yesus yang asli.
Perintah pengenangan, yang hanya terdapat pada Lukas-Paulus, juga menyimpang dari kebiasaan Yahudi. Begitu juga sabda eskatologis mengenai Kerajaan Allah, tentu sangat khusus untuk situasi Yesus. Maka kemiripan dengan perjamuan Yahudi tidak berarti bahwa Yesus hanya mengadakan perjamuan Yahudi yang biasa. Ada banyak unsur yang sangat istimewa, dan justru itulah yang paling penting untuk perayaan Ekaristi. Namun sabda Yesus itu hanya dapat dimengerti dengan sepenuhnya, kalau ditempatkan dalam kerangka perjamuan Yahudi itu.
Dalam Injil sinoptik (Mat 26:17-19/Mrk 14:12-16/Luk 22:9-13) diceritakan bagaimana para murid mempersiapkan perjamuan Paska. Atas dasar itu biasanya ditarik kesimpulan, bahwa Perjamuan Terakhir berupa perjamuan Paska. Namun dalam Yoh 19:14 dikatakan bahwa Pilatus menghukum Yesus pada “hari persiapan Paska”. Orang Yahudi tidak mau masuk ke dalam rumah Pilatus (seorang kafir yang najis dalam pandangan mereka), “supaya jangan menajiskan diri, sebab mereka hendak makan Paska” (Yoh 18:28). Maka timbul pertanyaan, bagaimana mungkin Yesus sudah makan perjamuan Paska sebelum itu? Atas pertanyaan itu pun tidak ada jawaban yang jelas. Dan tidak dapat dikatakan dengan pasti, apakah Perjamuan Terakhir adalah perjamuan Paska. Bagaimanapun juga, dalam kisah Perjamuan Terakhir sendiri domba Paska atau upacara pesta itu, tidak disebut-sebut. Atas dasar itu tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa Perjamuan Terakhir bukan perjamuan Paska. Yang jelas, Yesus sendiri atau para pengarang Injil tidak menghubungkan Perjamuan Terakhir (dan Ekaristi) dengan Paska Yahudi. Yesus tidak mengidentifikasikan diri dengan domba Paska (itu baru dibuat oleh Paulus dalam 1Kor 5:7, tetapi secara kiasan).
Yang paling penting tentu sabda Yesus waktu membagikan roti dan anggur. Beberapa hal perlu diperhatikan. Pertama roti dan anggur itu berfungsi sebagai alat penghubung antara para hadirin yang makan dan minum, dan dia yang membawakan doa syukur (dan dengan demikian dengan doa syukur itu sendiri). Dengan kata lain, sabda Yesus atas roti (dan atas piala) tidak tertuju kepada roti, tetapi kepada orang yang menerimanya. Sabda “Inilah tubuh-Ku” dikatakan mengenai roti, yang sedang diberikan. Selain itu “tubuh-ku” dalam bahasa Aram (bahasa ibu Yesus) berarti “aku” (serupa dengan bahasa Jawa “awak-ku”).
Maka dengan memberikan roti Ia memberikan diri sendiri kepada para rasul. Sama halnya dengan piala. Dengan sabda “Piala ini adalah Perjanjian Baru dalam darah-Ku”, Yesus mau mengatakan bahwa dengan minum dari piala ini para rasul masuk ke dalam Perjanjian Baru dengan Allah, yang didasarkan pada penumpahan darah Yesus. Sabda Yesus juga tidak pertama-tama ditujukan kepada piala (atau anggur di dalamnya), melainkan kepada mereka yang minum dari padanya. Dengan sabda atas roti dan anggur Yesus mengungkapkan suatu hubungan pribadi yang sangat istimewa.

Sakramen Ekaristi

Dikatakan bahwa Ekaristi itu sakramen utama. Ini sesuai dengan ajaran Konsili Vatikan II, yang menyebut Ekaristi “sumber dan puncak seluruh hidup Kristiani” (LG 11; lih. SC 10; CD 30; AG 9); bahkan dikatakan bahwa “sakramen-sakramen lainnya berhubungan erat dengan Ekaristi dan terarah kepadanya” (PO 5; lih. DR 22). Maka dapat dikatakan bahwa perayaan Ekaristi itu pelaksanaan diri Gereja di bidang liturgis.
Konsili Vatikan II memakai suatu istilah Yunani kuno untuk Ekaristi, yaknisynaxis (LG 11 dan 28; PO 5 dan 7). Kata Yunani itu berarti “kumpulan” atau “pertemuan”, sama dengan ekklesia (=Gereja). Tetapi itu tidak berarti bahwa perayaan Ekaristilah satu-satunya pertemuan Gereja. Di banyak tempat, bila tidak ada imam, umat berkumpul untuk ibadat sabda atau doa bersama yang lain. Di situ pun terlaksana kesatuan umat dalam Kristus, walaupun tidak dalam bentuk sakramen. Istilah “sumber dan puncak” yang dipakai Konsili Vatikan II dapat memberi kesan seolah-olah hanya umat yang merayakan Ekaristi sungguh umat Allah. Sabda Kristus, “Di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat 18:20). Yang dimaksudkan Konsili ialah bahwa dalam Ekaristi misteri wafat dan kebangkitan Kristus, yang merupakan sumber seluruh hidup Kristiani, dirayakan dengan paling meriah dan paling resmi.
Ekaristi bukan hanya salah satu sakramen; Ekaristi adalah Gereja dalam bentuk sakramen, Kalau dikatakan “Gereja adalah bagaikan sakramen, yakni tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan umat manusia” (LG 1), rumusan itu berlaku juga untuk Ekaristi. Ekaristi merupakan tandadan sarana, artinya “sakramen” persatuan dengan Allah dan kesatuan antarmanusia. Ekaristi itu perayaan umat. Suatu perayaan yang mempertandakan kehadiran Tuhan dalam umat. Dan tidak hanya “mempertandakan”: dalam perayaan Ekaristi umat sungguh menghayati – dalam iman – kesatuan dengan Tuhan yang hadir di tengah mereka. Dengan demikian terungkap dua dimensi Ekaristi, sama seperti Gereja yaitu segi ilahi dan segi insani atau gerejawi. Ekaristi tidak hanya menghubungkan masing-masing orang secara pribadi dengan Allah, tetapi juga menjadi ikatan antara umat sendiri. Itu dalam bentuk ibadat, yang pada dasarnya berasal dari agama Yahudi, melalui Perjamuan Terakhir.
Hemmm..panjang juga ya,,mudah-mudah an rekan OMK tidak ada yg jenuh untuk membaca nya.
sumber :http://pendalamanimankatolik.com/category/gereja-katolik-dan-kegiatannya/tugas-gereja/sakramen/sakramen-ekaristi/page/2/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar